Kartu ini sebagai salah satu bukti bahwa saya adalah Guru Pendidikan Agama Islam.



[Pacarpeluk, Abacaraka] – Saya menuliskan cerita ini karena kebanggaan saya sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam. Sedemikian bangganya, sebagaian besar cerita ini, saya muat dalam pengantar buku saya, Serpihan Hikmah dari Sudut Sekolah. Buku ini berisi kumpulan tulisan perenungan saya selama menjalankan tugas sebagari guru dari satu sekolah ke sekolah yang lain. 
Dari Sekolah Ke Sekolah
Nama saya Nine Adien Maulana. Murid-murid biasa memanggil saya Pak Nine (dengan ejaan Inggris) atau Pak Adien. Saya adalah seororang guru Pendidikan Agama Islam.
Menjadi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi saya adalah pilihan Allah SWT yang terbaik. Saya bangga dengan profesi ini dan sangat menyukurinya. Ini bukanlah profesi sampingan atau pelarian, namun terencana dan sesuai dengan disiplin ilmu yang saya pelajari, karena dulu saya kuliah S1 di Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah kembali ke kampung halaman, saya pun menyelesaikan kuliah S2 dengan jurusan Pendidikan Islam di Pascasarjana Universitas Darul Ulum Jombang. 
Ini adalah profesi yang spesial. Saya merasakan bahwa profesi ini diapresiasi oleh masyarakat secara tidak sama dengan profesi guru mata pelajaran yang lain. Dengan profesi ini saya seringkali diperlakukan oleh masyarakat sebagai orang yang dituakan, meskipun usia saya sebenarnya relatif masih muda, sehingga sering dimintai pertolongan dalam banyak urusan kemasyarakatan; misalnya memberi nama bayi, memimpin do’a dalam berbagai acara, mengajari ngaji anak-anak hingga manula, memberi ceramah dalam berbagai acara, menjadi tempat curhat murid yang punya masalah, mewakili kepala sekolah dalam menyambut tamu, bahkan menangani murid yang kesurupan dan masih banyak lagi peran yang harus saya mainkan. Baik di sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat, guru PAI pasti akan diberi amanat yang tidak sekadar urusan yang berkaitan formal profesinya oleh masyarakat dimana ia berada.
Sebenarnya memainkan peran sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat telah lama berlangsung sejak duduk di bangku sekolah, selama kuliah hingga setelah lulus kuliah. Dulu ketika saya masih berada di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (Madrasah Aliyah Program Khusus) Jember, teman-teman sering menjadikan saya ‘tempat’ curhat berbagai masalah. Sampai-sampai, teman-teman memanggil saya dengan sebutan “Mbah”. Mungkin mereka menganggap saya seperti dukun.
Selama kuliah di Yogyakarta, peran ini pun tidak berhenti, sehingga saya memberi nama kamar kos saya dengan sebutan “CureHeart Room” plesetan dari kamar curhat, karena teman-teman kampus sering menjadikannya sebagai jujukan kalau sedang sumpek dengan berbagai masalah, dari masalah keuangan hingga masalah cinta. Tidak hanya teman-teman kampus yang menuakan saya, masyarakat kampung sekitar tempat kos pun demikian, karena selama tinggal di Janti Yogyakarta, saya terlibat aktif di Taman Pendidikan Al-Qur’an Babul Ulum yang ngajari anak-anak hingga manula membaca al-Qur’an.    
Setelah lulus kuliah dan akhirnya pulang kampung ke Jombang, saya mengabdi menjadi guru PAI di Sekolah Dasar (SD) Islam Roushon Fikr Jombang. Di tempat ini pun saya memainkan peran yang sama yakni menjadi ‘tempat’ curhat para murid yang masih kanak-kanak dan wali muridnya. Memang, sekolah ini mentradisikan keakraban yang nyedulur antara pihak sekolah dan wali murid. Hampir tiap hari ada saja wali murid yang curhat tentang perkembangan anaknya baik melalui pertemuan langsung di sekolah maupun tidak langsung melalui pesan singkat atau telefon.
Sekitar 3 (tiga) tahun berinteraksi dengan anak-anak dan para wali muridnya di SD Islam Roushon Fikr, saya lolos tes dan akhirnya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah dengan tugas sebagai guru PAI di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Ploso. Di tempat ini pun, peran yang selama ini saya mainkan tetap berlangsung. Bahkan, saya mendapat amanat tambahan yang di luar disiplin ilmu formal saya yakni sebagai Pembina Ektrakurikuler Jurnalistik, karena saya dianggap memiliki keterampilan dalam tulis-menulis.
Kurang lebih enam tahun mengabdi di SMA Negeri Ploso telah menorehkan berbagai pengalaman yang sangat mencerahkan. Interaksi sosial yang terjadi di sekolah itu memunculkan berbagai macam hikmah, khususnya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada saya. Setiap jawaban yang saya sampaikan tentu dalam ruang lingkup pemahaman terbatas saya terhadap ajaran agama Islam. Pengalaman inilah sumber hikmah, setidak-tidaknya bagi saya, oleh karena itu saya harus lebih banyak membaca referensi untuk menjawabnya.
Tanpa disangka-sangka sebelumnya, ternyata kebersamaan saya mengabdi di SMA Negeri Ploso harus berakhir seiring dengan terbitnya Surat Keputusan tentang mutasi saya ke SMP Negeri 1 Kabuh. Tempatnya sekitar 2 km sebelah utara SMA Negeri Ploso. Sebenarnya ada kekecewaan saat saya harus dimutasi di sekolah ini, karena yang telah nyaman dan nyedulur dengan keluarga besar SMA Negeri Ploso. Namun, sebagai abdi negara yang telah menyatakan siap ditempatkan dimana saja dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka saya pun harus ikhlas menjalaninya dan terus menghadirkan baik sangka (husnu dhan) kepada Allah SWT.
Di tempat tugas yang baru ini, saya mengukir pengalaman hidup di tempat kerja yang baru. Satu semester mengajar di sana, saya gunakan untuk beradaptasi baik dengan murid, guru dan masyarakat di situ.
Saya belum berani berkreasi dan berinovasi dalam pembelajaran sebelum memiliki bekal informasi yang memadai. Meskipun demikian, saya sudah bisa memulai menghidupkan mushollah sekolah dengan kegiatan mengajar mengaji, shalat dhuha dan dhuhur bersama murid-murid. Selain itu, menuliskan pengalaman selama berinteraksi dengan keluarga besar dan lingkungan SMP Negeri 1 Kabuh tetap menjadi kegiatan rutin saya saat jedah dari pembelajaran yang telah dijadwalkan. Saya kemudian mengirimkan beberapa tulisan itu ke media massa, sehingga sempat beberapa kali dimuat di sana. Inilah kepuasan tersendiri yang tiada terperi yang melampaui ukuran materi. 
Ternyata waktu satu semester di SMP Negeri 1 Kabuh ibarat magang kerja, karena setelah itu saya dimutasi lagi, yakni ke SMP Negeri 1 Jombang. Di sekolah yang baru ini saya tidak mau menyianya-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan setiap penggalan pengalaman hidup yang saya anggap menarik untuk ditulis. Saya tidak ingin seperti yang lalu, terlalu banyak adaptasi dengan lingkungan, hingga tidak maksimal dalam menulisnya.
Saya merasa amat rugi, jika setelah ini saya masih dimutasi lagi ke sekolah lain, sedangkan belum ada serpihan-serpihan hikmah yang dapat diabadikan dalam bentuk tulisan. Inilah risiko menjadi abdi negara yang harus siap ditugaskan dimana saja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menulis dan terus menulis; itulah aktifitas utama saya setelah mengajar di SMP Negeri 1 Jombang. Saya merekam berbagai pengalaman untuk dikeluarkan hikmahnya, sehingga tidak menjadi sekadar tulisan subyektif, namun bisa dinikmati dan diambil manfaat oleh orang lain.
Baru satu semester di SMP Negeri 1 Jombang, saya diminta sekolah untuk mencari tambahan jam mengajar, karena saya hanya mendapat tugas mengajar 16 jam pelajaran. Untuk memenuhi beban jam mengajar minimal 24 jam, atas bantuan Bu Ainani Jundah, teman guru Pendidikan Agama Islam SMK Negeri 3 Jombang, saya akhirnya bisa mendapatkan tambahan jam mengajar di sana.
SMK Negeri 3 Jombang ini terletak di sebelah selatan bersebelahan dengan SMP Negeri 1 Jombang. Area kedua sekolah ini dipisahkan oleh tembok pagar yang tinggi. Karena letak kedua sekolah ini berdekatan, mobilitas saya dalam melaksanakan tugas pembelajaran tidak banyak mengalami gangguan yang berarti. Sebaliknya, saya bersyukur bisa bertambah teman dan saudara.  Aktivitas ini pun berlangsung sekitar satu tahun pelajaran.  
Selama mengajar di sekolah ini, saya sempat menulis beberapa artikel. Idenya muncul dari sekolah ini, namun penulisannya dilakukan di salah sudut SMP Negeri 1 Jombang. Penyebabnya adalah bahwa saya hasru langsung kembali ke sekolah induk setelah mengajar murid-murid SMK Negeri 3 Jombang.
Ketika beban minimal jam mengajar saya di SMP Negeri 1 telah terpenuhi, saya tidak diperkenankan lagi meneruskan mengajar di SMK Negeri 3 Jombang. Saya harus kembali mengajar penuh di SMP Negeri 1 Jombang dan terus menulis rekaman peritiwa yang saya alami dan fikirkan dengan menggali hikmah yang terkadung di dalamnya.
Ternyata apa yang saya pikirkan; bahwa suatu saat nanti saya pasti akan kembali mengajar di jenjang SMA/SMK, menjadi kenyataan. Kebersamaan saya di SMP Negeri 1 Jombang tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun bertugas di sekolah ini, saya dimutasi lagi ke sekolah sebelah utaranya, yaitu SMA Negeri 2 Jombang. Ini adalah sekolah terfavorit di Jombang.
Di sekolah ini saya banyak bertemu kembali dengan murid-murid saya dulu di SD Islam Roushon Fikr dan SMP Negeri 1 Jombang. Ada juga salah seorang lulusan SMP Negeri 1 Kabuh yang bertemu kembali dengan saya dalam pembelajaran di SMA Negeri 2 Jombang.
Di sekolah ini saya memiliki tiga sudut favorit, tempat menuliskan gagasan dan renungan saya dengan tema beragam. Tema keislaman dan kependidikan tetap menjadi materi utama tulisan-tulisan saya. Ruang komputer guru menjadi jujugan utama saya berdiam diri di depan laptop. Tempatnya jadi satu dengan tempat shalat guru. Setelah shalat Dhuha, saya selalu menyempatkan membaca berita online atau menulis ide-ide sederhana yang bergelayut dalam pikiran saya.
Ruang perpustakaan menjadi tempat favorit kedua. Jika jujugan utama telah dipenuhi dengan teman-teman guru lainnya, saya lebih sering berada di perpustakaan. Di tempat ini saya bisa berdiam diri lama dan menulis dengan tenang.
Teras depan laboratorium komputer menjadi tempat favorit ketiga saya dalam menulis. Ketiga tempat itu menjadi favorit karena masing-masing memiliki jaringan hotspot yang kuat, sehingga memudahkan saya memperbaharui informasi melalui sambungan internet.
Melalui sudut-sudut sekolah ini, saya lebih banyak ‘uzlah (menarik diri) dari hiruk-pikuk dinamika sekolah dan organisasi keprofesian guru PAI. Saya lebih berkonsentrasi dengan pembelajaran di kelas sesuai dengan tugas mengajar yang diamanatkan kepada saya.
Dalam ‘uzlah itu, saya terus menulis tulisan-tulisan ringan berupa opini dan berita yang mengisi media online yang saya kelola, yaitu www.abacaraka.nupacarpeluk.com dan www.nupacarpeluk.com. Dua media online ini menjadi wahana aktualisasi diri saya dalam aktivitas profesional guru dan aktivitas pengabdian masyarakat melalui Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Pacarpeluk. Ini adalah peran baru yang harus saya lakukan agar tetap menjadi menjadi pribadi yang bisa memberi manfaat kepada manusia lainnya.
Usaha ini pun tidak sia-sia. Bersama masyarakat Pacarpeluk dan para kader penggerak Nahdlatul Ulama (NU), saya bergerak dan menggerakkan masyarakat khususnya jamaah NU melalui pengelolaan Zakat, Infak dan Sedekah. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, jamaah dan jam’iyyah NU Pacarpeluk mampu berkiprah dan menarik perhatian masyarakat luas. Para tamu pun berbondong-bondong datang untuk menggali informasi tentang NU Pacarpeluk yang sangat fenomenal itu secara langsung.
Sebenarnya segala aktivitas NU Pacarpeluk telah terpublikasi dalam www.nupacarpeluk.com baik berupa liputan berita maupun opini, sehingga siapa saja bisa mengaksesnya kapan saja dan dimana saja tanpa harus datang langsung ke desa ini. Ternyata keberadaan media online ini membuat para penggerak NU di lain daerah semakin penasaran untuk melihat sendiri secara langsung, sehingga rombongan tamu terus berdatangan.
Berbagai interaksi saya dengan masyarakat dalam sekolah dan di luar sekolah di berbagai kesempatan ini menjadi pendorong motivasi saya untuk belajar lebih banyak lagi baik melalui diskusi, mendengarkan ceramah, maupun dengan membaca-baca berbagai macam referensi. Banyak hal menarik yang muncul dalam interaksi ini, biasanya berupa pertanyaan maupun pernyataan yang sangat menginspirasi bagi saya. Mungkin orang lain menganggapnya biasa atau bahkan sekadar ungkapan spontan yang tak bermakna, namun saya menangkapnya lain dan saya menerimanya sebagai suatu pencerahan. Saya merenungkan berbagai pengalaman itu, mencari referensi, menarik hikmahnya kemudian menuliskannya menjadi artikel dengan berbagai tema.

Masuk Banyak Organisasi Profesi Guru
Apa yang telah saya ceritakan di atas sebenarnya menegaskan bahwa saya adalah seorang guru PAI baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Tidak hanya itu, saya secara resmi juga tercatat dalam beberapa organisasi profesi guru baik secara umum maupun secara khusus pada mata pelajaran PAI.
Sejak saya menjadi guru SMA Negeri Ploso saya langsung disodori oleh bagian tata usaha sekolah ini sebuah formulir pendaftaran anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Saya pun mengisinya, apalagi katanya kartu tanda anggota PGRI ini bisa menambah poin saat pengurusan kenaikan pangkat. Tiap bulan pun gaji saya otomatis dipotong untuk membayar iuran organisasi ini.
Saya tidak begitu mempedulikan apa dan bagaimana kiprah dan manfaat nyata organisasi bagi saya, karena pengembangan keprofesian saya lebih nyata melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (MGMP PAI).  Saya pun aktif bergerak dan menggerakkan organisasi para guru PAI tingkat SMA dan SMK sekabupaten Jombang.
Rumah Ibu Siti Mulyati (waktu itu masih aktif sebagai guru PAI SMK Negeri 1 Jombang) menjadi saksi sejarah bagaimana saya bersama para pengurus dan anggota MGMP PAI SMA/SMK Kabupaten Jombang berproses mengembangkan kompetensi keguruan ini. Saya pun sempat menjadi sekretaris organisasi ini.
Karena mutasi ke jenjang SMP, kebersamaan dan keaktifan saya di MGMP ini pun berakhir. Segala kebersamaan dan dinamika dalam organisasi itu, pun menjadi kenangan romantis belaka. Saya pun harus memulai berproses dari awal melalui MGMP PAI SMP Kabupetan Jombang. Al-Marhum pak Aman Sukristijono, saat menjabat sebagai ketua MGMP ini, adalah orang paling berjasa memberi kesempatan kepada saya untuk beraktualisasi diri melalui organisasi profesi ini. Mungkin karena romantisme ber-MGMP saya masih lekat dengan SMA/SMK, sehingga tetap saja saya belum bisa merasakan klik hati dalam berorganisasi ini. Hal ini tentu sangat wajar karena saya masih menjadi pendatang baru dalam MGMP PAI SMP Kabupetan Jombang.
Ketika saya dimutasi ke SMA Negeri 2 Jombang, maka saya kembali bergabung dengan MGMP yang dulu pernah mengukir berjuta kenangan manis dan pahit, tapi nikmat; senikmat minum kopi. Ada manisnya dan ada juga pahitnya. Namun organisasi itu telah berubah tidak lagi gabungan dari guru-guru PAI SMA dan SMK, tapi khusus untuk guru PAI SMA Negeri. Guru-guru PAI SMK baik negeri dan swasta telah mendirikan MGMP sendiri. Guru-guru PAI SMA Swasta juga mendirikan MGMP sendiri.
Saya pun kembali berproses dalam organisasi yang kini bernama MGMP PAI SMA Negeri Kabupaten Jombang. Karena banyak hal yang meliputi kondisi sosial dan emosional saya, di MGMP ini saya tidak bisa lagi melakukan aktulisasi diri seperti yang dulu. Hal ini sangat wajar karena dinamika kehidupan yang saya alami terus bergerak dan berubah. Meskipun demikian, saya terus berupaya bisa memberi manfaat melalui organisasi ini sesuai dengan kadar kemampuan saya. Saya harus mengakui bahwa dalam hal ini saya sangat sungkan dengan totalitas KH. Moch.Fakhruddin Siswopranoto, ketua MGMP ini, dalam menggerakkan dan bahkan menghidupkan organisasi ini.
Selain di MGMP, saya juga menjadi anak buah pengasuh Pondok Pesantren Kalimasada ini di dalam Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Kabupaten Jombang. Ini adalah organisasi guru PAI yang lintas jenjang mulai dari jenjang pra sekolah hingga SMA/SMK. Melalui organisasi ini shilaturrahmi, kerjasama dan advokasi antar sesama guru PAI bisa dijalin.
Jika saya menjadi anggota PGRI karena keluguan dan ikut-ikut dengan para guru senior, maka hal halnya saat saya masuk dalam Ikatan Guru Indonesia (IGI). Meskipun ini memang organisasi profesi guru yang relatif baru, namun program-program peningkatan kompetensi guru yang dijalankannya sangat kreatif. Saya pun akhirnya tertarik mendaftarkan diri sebagai bagian dari organisasi ini.
Atas ajakan dan rekomendasi pak Abdulloh Syifa’ (sekarang Kepala Sekolah Indonesia Riyadh) saya pun dimasukkan dalam kepengurusan IGI Kabupaten Jombang. Sayangnya saya belum bisa berkontribusi banyak untuk organisasi ini.        
Di awal masa mutasi saya ke SMA Negeri 2 Jombang, saya juga diajak masuk menjadi bagian dari Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Jombang. Pak Didin Ahmad Sholahuddin adalah orang yang merekomendasikan saya masuk dalam kepengurusan PC ISNU Jombang. Bersama beberapa sarjana yang lain, sesuai dengan latar belakang profesi, saya kemudian ditempatkan dalam bidang pendidikan dan pesantren.
Selain berada dalam PC ISNU Jombang, saya juga diajak bergabung dan menggerakkan Pengurus Cabang Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PC PERGUNU) Jombang. Ini adalah organisasi profesi guru yang termasuk badan otonom Nahdlatul Ulama. Sayangnya saya jugabelum bisa berkontribusi banyak dalam organisasi ini.
Ada banyak hal yang membuat saya belum bisa aktif dalam organisasi profesi guru seperti dulu lagi, baik karena faktor-faktor dari dalam diri saya sendiri maupun dipicu oleh faktor-faktor dari luar. Yang jelas memang saya harus menentukan pilihan yang tepat untuk mengembangkan diri dan profesi, namun tetap menentramkan hati. Apalah artinya keaktifan dalam organisasi profesi jika membuat hati tidak tentram.
Meskipun saya tidak lagi seaktif dulu dalam menggerakkan organisasi profesi guru, namun bukan berarti saya sepenuhnya mengasingkan diri (uzlah) dari hiruk-pikuk organisasi. Saya tetap aktif berorganisasi, namun hanya tingkat kampung yaitu melalui Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk dan Pengurus Takmir Masjid Baitul Muslimin dusun Peluk desa Pacarpeluk. Di kedua organisasi inilah saya menuangkan idealisme keguruan PAI, sehingga bisa bersama-masa dengan masyarakat desa menghadirkan kemaslahatan. [nam]