Penulis merasakan bahwa ternyata sekarang ini, masyarakat kita semakin pragmatis dalam bertindak, termasuk dalam beragama. Apa yang saya dapatkan dari agama? Apakah agama mampu membantuku dalam menghadapi kehidupan ini? Apakah agama mampu memberikan solusi atas segala permasalahan yang saya hadapi? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh sikap pragmatis tersebut.
Apakah sikap pragmatis dalam beragama tidak boleh? Menurut penulis, boleh-boleh saja kita beragama secara pragmatis, dengan
arti bahwa agama harus mampu menjadi solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia. Bahkan, jika kita melihatnya
dengan sudut pandang positif, maka sikap pragmatis ini bisa semakin mengenalkan
kita kepada agama.
Agama yang seringkali dipahami secara melangit, kemudian
kita turunkan pada tataran yang lebih operasional kekinian. Terlepas
motivasinya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik duniawi, namun hal
ini patut untut diapreasiasi, sebab dengan demikian agama menjadi fungsional.
Agama menjadi rujukan dalam mengahadapi kehidupan ini. Bukankah ini merupakan
upaya untuk menjadikannya sebagai petunjuk?
Dengan demikian, awat wajar jika sekarang, buku-buku
membahas masalah rezeki dalam perspektif Islam sangat laris di pasaran. Ketika
kita mendengar kata rezeki, dengan segera konotasi dan asosiasi fikiran merujuk
kepada harta, uang, gaji atau apa saja yang dekat dengan masalah keuangan.
Ketika orang berbondong-bondong mencari konsep-konsep islami tentang amalan
pembuka pintu rezeki, diakui atau tidak mereka sebenarnya ingin segera menjadi
kaya dengan konsep-konsep Islami. Islam tidak diposisikan sebagai media pencari
keselamatan ukhrawi, namun ditarik ke wilayah duniawi yang profan.
Bagaimanakah sebenarnya konsep-konsep Islami tentang rezeki?
Biasanya kalau bicara tentang masalah konsep, seringkali pembahasannya sangat
akademik dan kaku, sehingga membuat malas orang yang tidak terbiasa membaca.
Oleh karena itu, penulis berusaha menuliskannya dengan
santai dan dengan bahasa yang ringan-ringan saja. Tapi, kalau pembaca merasa
berat membacanya, maka lalui saja pembahasan ini. Toh, pembaca juga telah
memiliki sedikit pengetahuan tentangnya.
Dilihat secara bahasa rezeki berasal dari kata رزق
yang berarti memberi rezeki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata rezeki
memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai
untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan
(sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari penghidupan, pendapatan,
(uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan
mendapatkan makanan dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam rezeki merupakan anugerah nikmat di
karuniakan Allah Swt kepada manusia untuk keperluan jasmani dan rohaninya
seperti makan, ilmu dan sebagainya. Rezeki disini memiliki maksud dan pengertian
yaitu ‘makanan dari Tuhan”, “pemberian Tuhan’, “bekal dari Tuhan’, dan anugerah
dari langit. Semunya mengandung konotasi sama yaitu Allah SWT sebagai
sumberinya. Dia adalah Tuhan yang memberi rahmat sebenar-benarnya kepada
makhluk penghuni alam semesta.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman surat Nuh ayat 10-12
Artinya: “Maka aku berkata (kepada mereka); Mohonlah ampun kepada Tuhan-mu,
Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari
langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan
kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.’’
Merujuk dari ayat di atas, kata rezeki memiliki arti
pemberian Allah kepada makhluk-makhluknya. Allah menganugerahkan rezeki kepada
siapa pun dan meliputi berbagai macam aspek kehidupan baik secara jasmani dan
rohani dalam bentuk rohaniah dan batiniah. Dari segi jasmaniah Allah mewujudkan
rezeki dalam bentuk makanan, minuman, pakaian, kediaman dan segala hal yang
berkaitan dalam memperolehnya. Kebutuhan rohani yang diberikan Allah kepada
hambanya bisa berupa ilmu pengetahuan, kecerdasan, taufik serta hidayah dalam
kehidupan.
Rezeki dalam bentuk jasmani diberikan kepada setiap makhluk
yang bernyawa di dunia baik beriman atau kafir, baik atau jahat. Di akhir ayat 212
Surah al-Baqarah, Tuhan berfirman yang artinya:
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka
memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu
lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Dari dua penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa rezeki memiliki konteks yang sangat luas.
Rezeki merupakan pemberian Allah SWT yang diberikan kepada semua makhluk tanpa
memilih-milih untuk memenuhi kebutuhan baik secara jasmani maupun rohaniah dan
segala hal yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu
tidak salah jika fikiran kita berasosiasi pada harta, ketika kata rezeki
disebut. Akan tetapi, hakikatnya jauh lebih luas daripada yang kita sangka.
Adalah sangat tepat jika sangkaan kita itu kemudian kita
perkaya dengan konsep-konsep Islami. Apa manfaatnya? Sebelum kita benar-benar
menjadi kaya, kita sudah merasa kaya terlebih dulu. Kita tidak hanya menjadi
kaya secara materi, namun juga kaya secara non materi. Dengan itu, dorongan
untuk mensyukuri semua semua pemberian Allah akan semakin besar. Dengan semakin
besar kita bersyukur, maka akan semakin besar pula nikmat atau rezeki yang
diberikan Allah SWT. []
3 Comments
Ajib
ReplyDeleteAjib
ReplyDeleteSemoga bermanfaat khy. Hanya bisa nulis yang ringan-ringan saja.
Delete